5 Alasan Tidak Datang Ke Jakarta Pasca Lebaran - Siapa suruh datang Jakarta...
Siapa suruh datang Jakarta...
Sendiri suka, suka sendiri rasa
Eh doe.. Sayang...
Beberapa dari Anda mungkin tidak asing dengan sepenggal bait lagu di atas. Lagu di atas memang terlihat seperti menyudutkan para pendatang untuk tidak datang ke Jakarta. Namun jika dilihat lebih seksama lagi, lagu tersebut memberi peringatan bagi pendatang agar mempersiapkan diri dengan kerasnya hidup di ibukota. Mulai dari persiapan fisik, mental dan skill. Terlepas dari persiapan yang dilakukan bagi Anda pendatang baru di Jakarta, ada baiknya jika Anda juga mempertimbangkan hal-hal ini sebelum memutuskan hijrah ke Jakarta.
Dari tahun 2000 sampai dengan 2020 penduduk kota Jakarta diperkirakan meledak hingga 16 juta jiwa. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya Jakarta saat ini, apalagi jika ditambah pertambahan pendatang dari berbagai daerah. Kepadatan ini pun berpengaruh pada terbatasnya lahan tempat tinggal di Jakarta, tidak mengherankan jika rumah dan pemukiman liar pun tumbuh dengan pesat.
Kalimat sedikit nyeleneh di atas tentu saja beralasan, walaupun tidak menyebutkan kota Jakarta. Namun mengingat Jakarta sebagai ibu kota sekaligus etalase Indonesia, tentu saja Jakarta yang menjadi kiblatnya. Tahukah Anda, Jakarta berada di urutan teratas sebagai kota termacet di Dunia versi Castrol. Rata-rata setiap tahunnya pengemudi kendaraan di Jakarta mengalami 33,240 start-stop alias kemacetan. Hal ini tidak mengherankan mengingat pembangunan infrastruktur tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi kendaraan. Ditambah lagi fasilitas transportasi yang tidak memadai membuat para penduduknya lebih senang menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi bekerja. Mengakibatkan jumlah kendaraan pribadi lebih banyak ketimbang transportasi umum.
Berbanding lurus dengan semakin padatnya jumlah penduduk. urbanisasi juga menyebabkan bertambah banyaknya jumlah pengangguran di Jakarta. Alih-alih ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, yang terjadi justru semakin banyaknya pengangguran di kota tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun ini (Februari 2014 – Februari 2015). Jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 300 ribu orang, sehingga total pencapaian hingga 7,45 juta orang.
Data BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) didominasi penduduk berpendidikan sekolah Menengah kejuruan (SMK) sebesar 9,05% disusul jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), 17% dan Diploma I/II/III sebesar 7,49%. Jadi pastikan Anda punya cukup skill yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan sebelum memutuskan hijrah ke Jakarta.
Berbeda dengan daerah atau kota kecil lainnya. Meskipun Upah Minimum di Jakarta lebih tinggi dibandingkan kota kecil lainnya, namun hal tersebut sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan ketika hidup di Jakarta. Mulai dari biaya makan, tempat tinggal, hingga biaya transportasi sehari-hari. Sebagai contoh, di Jakarta, biaya yang dibutuhkan untuk sekali makan minimal adalah sekitar Rp15.000. Di daerah lain? Belum tentu sebesar itu.
Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, jika Jakarta menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Hal ini tentu saja berhubungan erat dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan yang dilakukan oleh warga Jakarta. Ditambah dengan sistem saluran air dan drainase yang buruk. Yang dirancang hanya untuk menampung curah hujan 50-60 kilometer per jam, padahal idealnya drainase di Jakarta berkapasitas 80 kilometer per jam. Kalau sudah begitu, setiap musim hujan datang, bersiaplah menerima "sumbangan air berlebih" dari sungai sekitar rumah.
Siapa suruh datang Jakarta...
Sendiri suka, suka sendiri rasa
Eh doe.. Sayang...
5 Alasan Tidak Datang Ke Jakarta Pasca Lebaran |
Beberapa dari Anda mungkin tidak asing dengan sepenggal bait lagu di atas. Lagu di atas memang terlihat seperti menyudutkan para pendatang untuk tidak datang ke Jakarta. Namun jika dilihat lebih seksama lagi, lagu tersebut memberi peringatan bagi pendatang agar mempersiapkan diri dengan kerasnya hidup di ibukota. Mulai dari persiapan fisik, mental dan skill. Terlepas dari persiapan yang dilakukan bagi Anda pendatang baru di Jakarta, ada baiknya jika Anda juga mempertimbangkan hal-hal ini sebelum memutuskan hijrah ke Jakarta.
1. Sumpek
Jika Anda yang datang berurbanisasi ke Jakarta, hal ini patut Anda pertimbangkan. Kota Jakarta masuk dalam jajaran kota Megapolitan dengan jumlah penduduk kota terbanyak di Asia. Di tahun 2010 saja, World Bank mencatat, jumlah penduduk Ibu kota Indonesia ini mencapai 10 juta penduduk. Dengan pertumbuhan penduduk 3,7 persen per tahun. Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2000 penduduk kota Jakarta berada di kisaran 8 juta jiwa. Yang artinya dalam rentang waktu 20 tahun.Dari tahun 2000 sampai dengan 2020 penduduk kota Jakarta diperkirakan meledak hingga 16 juta jiwa. Bisa dibayangkan bagaimana padatnya Jakarta saat ini, apalagi jika ditambah pertambahan pendatang dari berbagai daerah. Kepadatan ini pun berpengaruh pada terbatasnya lahan tempat tinggal di Jakarta, tidak mengherankan jika rumah dan pemukiman liar pun tumbuh dengan pesat.
2. Macet
“If you can survive driving in Indonesia, you can survive anywhere”Kalimat sedikit nyeleneh di atas tentu saja beralasan, walaupun tidak menyebutkan kota Jakarta. Namun mengingat Jakarta sebagai ibu kota sekaligus etalase Indonesia, tentu saja Jakarta yang menjadi kiblatnya. Tahukah Anda, Jakarta berada di urutan teratas sebagai kota termacet di Dunia versi Castrol. Rata-rata setiap tahunnya pengemudi kendaraan di Jakarta mengalami 33,240 start-stop alias kemacetan. Hal ini tidak mengherankan mengingat pembangunan infrastruktur tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi kendaraan. Ditambah lagi fasilitas transportasi yang tidak memadai membuat para penduduknya lebih senang menggunakan kendaraan pribadi sebagai alat transportasi bekerja. Mengakibatkan jumlah kendaraan pribadi lebih banyak ketimbang transportasi umum.
3. Jumlah Penganguran Yang Semakin Bertambah
Berbanding lurus dengan semakin padatnya jumlah penduduk. urbanisasi juga menyebabkan bertambah banyaknya jumlah pengangguran di Jakarta. Alih-alih ke Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, yang terjadi justru semakin banyaknya pengangguran di kota tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tahun ini (Februari 2014 – Februari 2015). Jumlah pengangguran di Indonesia meningkat 300 ribu orang, sehingga total pencapaian hingga 7,45 juta orang.
Data BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) didominasi penduduk berpendidikan sekolah Menengah kejuruan (SMK) sebesar 9,05% disusul jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), 17% dan Diploma I/II/III sebesar 7,49%. Jadi pastikan Anda punya cukup skill yang memadai untuk mendapatkan pekerjaan sebelum memutuskan hijrah ke Jakarta.
4. Mahalnya Biaya Hidup
Berbeda dengan daerah atau kota kecil lainnya. Meskipun Upah Minimum di Jakarta lebih tinggi dibandingkan kota kecil lainnya, namun hal tersebut sebanding dengan besarnya biaya yang harus dikeluarkan ketika hidup di Jakarta. Mulai dari biaya makan, tempat tinggal, hingga biaya transportasi sehari-hari. Sebagai contoh, di Jakarta, biaya yang dibutuhkan untuk sekali makan minimal adalah sekitar Rp15.000. Di daerah lain? Belum tentu sebesar itu.
5. Banjir
Sudah tidak menjadi rahasia umum lagi, jika Jakarta menjadi langganan banjir setiap tahunnya. Hal ini tentu saja berhubungan erat dengan kebiasaan membuang sampah sembarangan yang dilakukan oleh warga Jakarta. Ditambah dengan sistem saluran air dan drainase yang buruk. Yang dirancang hanya untuk menampung curah hujan 50-60 kilometer per jam, padahal idealnya drainase di Jakarta berkapasitas 80 kilometer per jam. Kalau sudah begitu, setiap musim hujan datang, bersiaplah menerima "sumbangan air berlebih" dari sungai sekitar rumah.
Post A Comment:
0 comments: